Menghadapi tantangan global yang kian kompetitif diperlukan sumber daya
manusia handal yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun
juga kecerdasan emosi dan spiritual. Akan tetapi, pendidikan tinggi saat
ini umumnya hanya menawarkan pengembangan kecerdasan intelektual (IQ),
padahal penelitian membuktikan bahwa IQ hanya berpengaruh 6-20 persen
terhadap kesuksesan seseorang. Kesadaran akan makin pentingnya
pendidikan karakter kini sudah makin bergulir, namun saat ini belum
banyak pihak yang menguasai metode pendidikan karakter.
Seperti yang ditulis oleh Dr. H. C Ary Ginanjar Agustian, seorang pakar Pendidikan Spitual di bawah ini :
...... Anak sulung saya Anjar, yang IPnya pas-pasan itu pergi mengikuti sebuah pelatihan remaja di Negeri Paman Sam bersama teman-teman kuliahnya beberapa bulan lalu. Saya memberinya bekal sebesar 500 US Dollar untuk berbagai keperluannya selama di sana dan 500 US Dollar lagi untuk cadangan apabila ada biaya tak terduga. Saya wanti-wanti agar dia kembalikan uang cadangan itu apabila tidak terpakai.
Ketika dia pulang, saya sengaja tidak menanyakan tentang bagaimana sulung saya ini menggunakan uangnya. Saya sempat berpikir bahwa ia menggunakan semua uang yang saya berikan untuk keperluannya karena tidak ada yang mengawasi. Namun beberapa hari kemudian ia menyerahkan kembali uang 500 Dollar-nya sambil berkata, “Pak, ini uangnya Anjar kembalikan karena selama di sana tidak ada keperluan di luar rencana yang urgen. ”
Wah, padahal bisa saja dia pergunakan semua uang bekalnya dengan berbagai alasan logis yang pasti saya tidak akan mampu menolak. Atau habiskan saja anggaran tersebut toh memang sudah menjadi jatah dia. Dengan alasan bahwa banyak kebutuhan yang urgen dan ada keperluan yang tidak terduga selama di Amerika.
Anjar telah mempergunakan kecerdasan spiritualnya. Apabila dia hanya mempergunakan kecerdasan intelektualnya semata pasti dia akan sangat mampu membuat laporan keuangan yang “WTP” alias wajar tanpa pengecualian. Apalagi dia kuliah di jurusan Administrasi Niaga Universitas Indonesia, lalu ditambah dengan kecerdasan emosionalnya untuk melobby. Tentu sangat mudah baginya untuk memperdayai saya, karena semua sesuai aturan, semua sesuai prosedur, semua sesuai sistem, dan bisa diterima akal sehat.
Saya tercenung, membayangkan betapa tidak berdayanya sebuah pengawasan apabila kita hanya mengandalkan prosedur dan sistem yang berbasis kecerdasan intelektual semata. Sistem dan pengawasan yang selama ini kita agung-agungkan, dan kita usung tinggi-tinggi itu sebenarnya tidak akan mampu memagari kekuatan kecerdasan otak manusia yang diciptakan Tuhan secara genius dan luar biasa. Tanpa benteng spiritualitas, maka akan sangat mudah bagi seorang yang cerdas otaknya untuk menembus sistem dan prosedur secanggih apapun. Mungkin masih segar dalam ingatan bagaimana Enron, Worldcom, dan terakhir kasus “subprime mortgage” Lehman Brothers yang membuat ekonomi Amerika tersungkur, padahal sistem GCGnya sudah dipagari dengan sistem Sarbane Oxley Act yang super ketat.
Lalu saya mencoba membayangkan lagi berapa puluh atau berapa ratus trilyun atau mungkin berapa ribu trilyun harga atau nilai “spiritual capital” atau nilai sebuah microchip ciptaan Tuhan itu apabila dikonversikan dengan akibat kebocoran dan kesengsaraan di sana-sini. Belum lagi keputusan-keputusan yang dibuat demi kepentingan diri dan kelompok, seperti halnya proyek-proyek, aturan pertambangan dan perdagangan yang membuat asset bangsa tersedot keluar dengan kekuatan arus raksasa. Atau berapa banyak potensi yang menjadi sia-sia akibat kemiskinan spiritual bangsa ini, sehingga melahirkan sebuah iklim saling curiga dan saling tidak percaya yang dinamakan “low trust society”.
Modal kejujuran pun sesungguhnya ada tiga jenis. Pertama, kejujuran intelektual, yaitu jujur karena otak dan skill, contoh seseorang ahli memberikan laporan keuangan dengan benar sehingga masuk kategori wajar tanpa pengecualian (WTP). Kedua, kejujuran emosional yaitu seseorang yang jujur didorong oleh motivasi ingin dilihat oleh atasan, atau karena motivasi ingin penghargaan dan pengakuan publik.
Ketiga, kejujuran spiritual. Yaitu sebuah kejujuran asli yang lahir bukan dilahirkan karena sistem pengawasan atau GCG, atau karena laporan keuangan yang WTP. Karena kejujuran ini berada dalam dimensi spiritual, yang melahirkan nilai kejujuran hakiki dan muncul menjadi perilaku. Kejujuran ini lahir dari sisi terdalam pada belief system manusia pada dimensi spiritualitas.
Inilah yang dinamakan modal spiritual atau Spiritual Capital, yaitu sebuah modal penting yang harus dipertimbangkan sebagai salah satu kekuatan di dalam membangun sebuah korporasi, birokrasi, ekonomi, dan kehidupan negara yang sehat dan damai..
Seperti yang ditulis oleh Dr. H. C Ary Ginanjar Agustian, seorang pakar Pendidikan Spitual di bawah ini :
...... Anak sulung saya Anjar, yang IPnya pas-pasan itu pergi mengikuti sebuah pelatihan remaja di Negeri Paman Sam bersama teman-teman kuliahnya beberapa bulan lalu. Saya memberinya bekal sebesar 500 US Dollar untuk berbagai keperluannya selama di sana dan 500 US Dollar lagi untuk cadangan apabila ada biaya tak terduga. Saya wanti-wanti agar dia kembalikan uang cadangan itu apabila tidak terpakai.
Ketika dia pulang, saya sengaja tidak menanyakan tentang bagaimana sulung saya ini menggunakan uangnya. Saya sempat berpikir bahwa ia menggunakan semua uang yang saya berikan untuk keperluannya karena tidak ada yang mengawasi. Namun beberapa hari kemudian ia menyerahkan kembali uang 500 Dollar-nya sambil berkata, “Pak, ini uangnya Anjar kembalikan karena selama di sana tidak ada keperluan di luar rencana yang urgen. ”
Wah, padahal bisa saja dia pergunakan semua uang bekalnya dengan berbagai alasan logis yang pasti saya tidak akan mampu menolak. Atau habiskan saja anggaran tersebut toh memang sudah menjadi jatah dia. Dengan alasan bahwa banyak kebutuhan yang urgen dan ada keperluan yang tidak terduga selama di Amerika.
Anjar telah mempergunakan kecerdasan spiritualnya. Apabila dia hanya mempergunakan kecerdasan intelektualnya semata pasti dia akan sangat mampu membuat laporan keuangan yang “WTP” alias wajar tanpa pengecualian. Apalagi dia kuliah di jurusan Administrasi Niaga Universitas Indonesia, lalu ditambah dengan kecerdasan emosionalnya untuk melobby. Tentu sangat mudah baginya untuk memperdayai saya, karena semua sesuai aturan, semua sesuai prosedur, semua sesuai sistem, dan bisa diterima akal sehat.
Saya tercenung, membayangkan betapa tidak berdayanya sebuah pengawasan apabila kita hanya mengandalkan prosedur dan sistem yang berbasis kecerdasan intelektual semata. Sistem dan pengawasan yang selama ini kita agung-agungkan, dan kita usung tinggi-tinggi itu sebenarnya tidak akan mampu memagari kekuatan kecerdasan otak manusia yang diciptakan Tuhan secara genius dan luar biasa. Tanpa benteng spiritualitas, maka akan sangat mudah bagi seorang yang cerdas otaknya untuk menembus sistem dan prosedur secanggih apapun. Mungkin masih segar dalam ingatan bagaimana Enron, Worldcom, dan terakhir kasus “subprime mortgage” Lehman Brothers yang membuat ekonomi Amerika tersungkur, padahal sistem GCGnya sudah dipagari dengan sistem Sarbane Oxley Act yang super ketat.
Lalu saya mencoba membayangkan lagi berapa puluh atau berapa ratus trilyun atau mungkin berapa ribu trilyun harga atau nilai “spiritual capital” atau nilai sebuah microchip ciptaan Tuhan itu apabila dikonversikan dengan akibat kebocoran dan kesengsaraan di sana-sini. Belum lagi keputusan-keputusan yang dibuat demi kepentingan diri dan kelompok, seperti halnya proyek-proyek, aturan pertambangan dan perdagangan yang membuat asset bangsa tersedot keluar dengan kekuatan arus raksasa. Atau berapa banyak potensi yang menjadi sia-sia akibat kemiskinan spiritual bangsa ini, sehingga melahirkan sebuah iklim saling curiga dan saling tidak percaya yang dinamakan “low trust society”.
Modal kejujuran pun sesungguhnya ada tiga jenis. Pertama, kejujuran intelektual, yaitu jujur karena otak dan skill, contoh seseorang ahli memberikan laporan keuangan dengan benar sehingga masuk kategori wajar tanpa pengecualian (WTP). Kedua, kejujuran emosional yaitu seseorang yang jujur didorong oleh motivasi ingin dilihat oleh atasan, atau karena motivasi ingin penghargaan dan pengakuan publik.
Ketiga, kejujuran spiritual. Yaitu sebuah kejujuran asli yang lahir bukan dilahirkan karena sistem pengawasan atau GCG, atau karena laporan keuangan yang WTP. Karena kejujuran ini berada dalam dimensi spiritual, yang melahirkan nilai kejujuran hakiki dan muncul menjadi perilaku. Kejujuran ini lahir dari sisi terdalam pada belief system manusia pada dimensi spiritualitas.
Inilah yang dinamakan modal spiritual atau Spiritual Capital, yaitu sebuah modal penting yang harus dipertimbangkan sebagai salah satu kekuatan di dalam membangun sebuah korporasi, birokrasi, ekonomi, dan kehidupan negara yang sehat dan damai..