Membangun Ketahanan Informasi Daerah (1)

Kegiatan KIM BIJAK dalam seminar Membangun Ketahanan Informasi Daerah.

LCCK Tingkat BAKORWIL (2)

Peserta Lomba Cerdik Cermat Komutikatif Tingkat BAKORWIL bertujuan untuk meningkatkan peran KIM dalam proses pembangunan di wilayah kelurahan maupun pedesaan dengan penguasaan IT bagi anggotanya.

PERTURA (3)

Menggali budaya melalui ajang Pertunjukan Rakyat (PERTURA) Tingkat Jawa Timur.

OTONOMI AWARD 2016 (4)

Penghargaan Otonomi Award Kota Malang Tahun 2016 menuju Kota yang Ramah dan Bermartabat.

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 74 (5)

Rangkaian Kegiatan Dalam Memperingati Hari Ulang Tahun kemerdekaan RI ke 74

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Juli 2014

Introspeksi sistem pendidikan

MASA ORIENTASI SISWA SEKOLAH (MOSS) . . .
BUDAYA PENJAJAHAN UNTUK BANGSA TERJAJAH . . . .
BUDAYA PARA PENJAJAH YANG TIDAK PERNAH DI TERAPKAN
UNTUK ANAK-ANAK BANGSA MEREKA SENDIRI
BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
BUDAYA KEBODOHAN YANG MASIH TERUS DILESTARIKAN HINGGA HARI INI
-Mulai sejak SD hingga Perguruan Tinggi
-Mulai dari guru dan dosen hingga para Senior ke Junior

Diambil dari tulisan Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI), sebagai bahan perenungan pasca Orientasi Peserta Didik Baru 2014.

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
…Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.
BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
MOSS Bersama di Lapangan Karebosi Makassar 
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.


Share:

Minggu, 28 April 2013

Modal Spiritual dalam Pendidikan Emas Indonesia

Menghadapi tantangan global yang kian kompetitif diperlukan sumber daya manusia handal yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun juga kecerdasan emosi dan spiritual. Akan tetapi, pendidikan tinggi saat ini umumnya hanya menawarkan pengembangan kecerdasan intelektual (IQ), padahal penelitian membuktikan bahwa IQ hanya berpengaruh 6-20 persen terhadap kesuksesan seseorang. Kesadaran akan makin pentingnya pendidikan karakter kini sudah makin bergulir, namun saat ini belum banyak pihak yang menguasai metode pendidikan karakter.
Seperti yang ditulis oleh Dr. H. C Ary Ginanjar Agustian, seorang pakar Pendidikan Spitual di bawah ini :
...... Anak sulung saya Anjar, yang IPnya pas-pasan itu pergi mengikuti sebuah pelatihan remaja di Negeri Paman Sam bersama teman-teman kuliahnya beberapa bulan lalu. Saya memberinya bekal sebesar 500 US Dollar untuk berbagai keperluannya selama di sana dan 500 US Dollar lagi untuk cadangan apabila ada biaya tak terduga. Saya wanti-wanti agar dia kembalikan uang cadangan itu apabila tidak terpakai.
Ketika dia pulang, saya sengaja tidak menanyakan tentang bagaimana sulung saya ini menggunakan uangnya. Saya sempat berpikir bahwa ia menggunakan semua uang yang saya berikan untuk keperluannya karena tidak ada yang mengawasi. Namun beberapa hari kemudian ia menyerahkan kembali uang 500 Dollar-nya sambil berkata, “Pak, ini uangnya Anjar kembalikan karena selama di sana tidak ada keperluan di luar rencana yang urgen. ”
Wah, padahal bisa saja dia pergunakan semua uang bekalnya dengan berbagai alasan logis yang pasti saya tidak akan mampu menolak. Atau habiskan saja anggaran tersebut toh memang sudah menjadi jatah dia. Dengan alasan bahwa banyak kebutuhan yang urgen dan ada keperluan yang tidak terduga selama di Amerika.
Anjar telah mempergunakan kecerdasan spiritualnya. Apabila dia hanya mempergunakan kecerdasan intelektualnya semata pasti dia akan sangat mampu membuat laporan keuangan yang “WTP” alias wajar tanpa pengecualian. Apalagi dia kuliah di jurusan Administrasi Niaga Universitas Indonesia, lalu ditambah dengan kecerdasan emosionalnya untuk melobby. Tentu sangat mudah baginya untuk memperdayai saya, karena semua sesuai aturan, semua sesuai prosedur, semua sesuai sistem, dan bisa diterima akal sehat.
Saya tercenung, membayangkan betapa tidak berdayanya sebuah pengawasan apabila kita hanya mengandalkan prosedur dan sistem yang berbasis kecerdasan intelektual semata. Sistem dan pengawasan yang selama ini kita agung-agungkan, dan kita usung tinggi-tinggi itu sebenarnya tidak akan mampu memagari kekuatan kecerdasan otak manusia yang diciptakan Tuhan secara genius dan luar biasa. Tanpa benteng spiritualitas, maka akan sangat mudah bagi seorang yang cerdas otaknya untuk menembus sistem dan prosedur secanggih apapun. Mungkin masih segar dalam ingatan bagaimana Enron, Worldcom, dan terakhir kasus “subprime mortgage” Lehman Brothers yang membuat ekonomi Amerika tersungkur, padahal sistem GCGnya sudah dipagari dengan sistem Sarbane Oxley Act yang super ketat.
Lalu saya mencoba membayangkan lagi berapa puluh atau berapa ratus trilyun atau mungkin berapa ribu trilyun harga atau nilai “spiritual capital” atau nilai sebuah microchip ciptaan Tuhan itu apabila dikonversikan dengan akibat kebocoran dan kesengsaraan di sana-sini. Belum lagi keputusan-keputusan yang dibuat demi kepentingan diri dan kelompok, seperti halnya proyek-proyek, aturan pertambangan dan perdagangan yang membuat asset bangsa tersedot keluar dengan kekuatan arus raksasa. Atau berapa banyak potensi yang menjadi sia-sia akibat kemiskinan spiritual bangsa ini, sehingga melahirkan sebuah iklim saling curiga dan saling tidak percaya yang dinamakan “low trust society”.
Modal kejujuran pun sesungguhnya ada tiga jenis. Pertama, kejujuran intelektual, yaitu jujur karena otak dan skill, contoh seseorang ahli memberikan laporan keuangan dengan benar sehingga masuk kategori wajar tanpa pengecualian (WTP). Kedua, kejujuran emosional yaitu seseorang yang jujur didorong oleh motivasi ingin dilihat oleh atasan, atau karena motivasi ingin penghargaan dan pengakuan publik.
Ketiga, kejujuran spiritual. Yaitu sebuah kejujuran asli yang lahir bukan dilahirkan karena sistem pengawasan atau GCG, atau karena laporan keuangan yang WTP. Karena kejujuran ini berada dalam dimensi spiritual, yang melahirkan nilai kejujuran hakiki dan muncul menjadi perilaku. Kejujuran ini lahir dari sisi terdalam pada belief system manusia pada dimensi spiritualitas.
Inilah yang dinamakan modal spiritual atau Spiritual Capital, yaitu sebuah modal penting yang harus dipertimbangkan sebagai salah satu kekuatan di dalam membangun sebuah korporasi, birokrasi, ekonomi, dan kehidupan negara yang sehat dan damai..


Share:

Generasi Emas Indonesia

Seperti pernah diberitakan pada Media Indonesia 2 Mei 2012 bahwa Menteri Pendidikan Nasional telah mencanang Program Generasi Emas Indonesia. Tema tersebut disesuaikan dengan rencana besar Kemendikbud untuk menyiapkan generasi emas sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan RI pada 2045 nanti.  "Tahun ini kami canangkan sebagai masa ‘menanam’ generasi emas tersebut. Dari 2012-2035 Indonesia mendapat bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan orang tua," kata Mendikbud M Nuh pada jumpa pers tentang Hardiknas di kantor Kemendikbud Jakarta, Selasa (1/5/2012).
Menurut M Nuh, dengan bonus demografi tersebut, pemerintah telah menyiapkan grand design pendidikan. Pendidikan anak usia dini digencarkan dengan gerakan PAUDisasi.  Pembangunan dan rehabilitasi sekolah dan ruang kelas baru dilakukan secara besar-besaran, serta intervensi khusus untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) siswa SMA. "2020 nanti, minimal pekerja kita lulusan SMA," katanya.
Menanggapi berita tersebut, secara positif kita perlu mengapresiasi pemilihan tema tersebut karena mempunyai perspektif yang berjangka panjang. Apalagi Kemendikbud juga telah menyiapkan grand design pendidikannya, terutama melalui penekanan pada pendidikan anak usia dini (PAUD), yang sebelumnya pernah kita abaikan dan baru dalam satu decade terakhir ini terdapat perubahan yang cukup mendasar. Dengan lebih tergarapnya potensi anak dalam periode “golden age” (0-6 tahun)-nya melalui stimulasi pendidikan diharapkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia bisa lebih ditingkatkan.
Terkait dengan permasalahan tersebut kita perlu menengok kembali pesan yang senantiasa relevan di segala jaman dari tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, yang artinya di depan memberikan teladan, di tengah memberikan bimbingan, dan di belakang memberikan dorongan kepada anak-anak didik kita.  Sebagai pendidik dan orangtua kita perlu menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan tetap berpedoman pada pesan Ki Hajar Dewantoro tersebut, kita juga bisa mengembangkan pendidikan yang ramah anak, dimana di dalamnya terdapat penghargaan terhadap hak-hak anak, tak hanya haknya untuk memperoleh pendidikan, tapi juga dihargai pandangannya, serta hak-haknya untuk memperoleh lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. 
SELAMAT Hari Pendidikan Nasional 2013
 
Share:

Selasa, 23 April 2013

Posko Peduli Pendidikan

Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Malang membuka Posko Peduli Pendidikan. di beberapa tempat, di antaranya di kantor Dindik, UPT Pendidikan di tiap kecamatan, dan di setiap kantor kelurahan di Kota Malang.

Posko itu untuk menampung  keluhan calon murid atau orang tua yang keberatan dengan biaya sekolah.Selain itu posko peduli pendidikan juga akan memberikan solusi bagi siswa yang tidak mampu untuk meneruskan pendidikannya dalam program wajib belajar 12 tahun yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Malang.



Berikut ini, alamat Posko Peduli Pendidikan di Kota Malang:

1. UPT Pendidikan Dasar Kec. Lowokwaru
Jl. Sunan Muria No. 2 
Telp (0341) 577944

2. UPT Pendidikan Dasar Kec. Sukun
Jl. Rajawali No. 2  
Telp. (0341) 364306

3. UPT Pendidikan Dasar Kec. Kedungkandang
Jl. Simp. Ters. Danau Sentani No. 1 
Telp. (0341) 718757

4. UPT Pendidikan Dasar Kec. Klojen
Jl. WR Supratman No. 11A 
Telp. (0341) 350856

5. UPT Pendidikan Dasar Kec. Blimbing
Jl. Teluk Cendrawasih No. 1
Telp. (0341) 493058

6. UPT Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
Jl. LA Sucipto Gg. Makam No. 30 Kalisari Pandanwangi
Telp. (0341) 405049

Di posko pendidikan itu, masyarakat bisa mengajukan calon siswa/peserta yang kesulitan melanjutkan pendidikannya dan akan diberi formulir yang isinya kurang lebih sebagai berikut:

Formulir Pendaftaran Posko Peduli Pendidikan Kota Malang



  • No. Pendaftaran       : .......................................
  • Nama Lengkap         : .......................................
  • Tempat, tanggal lahir : .......................................
  • Jen Kelamin              : .......................................
  • Program yg akan Diikuti :  .......................................
  • Pend. Trakhir : .......................................
1. Lulus SD/SMP/SMA Tahun ...............
2. DO kls Th...................



  • Status Perkawinan   : .......................................
  • Pekerjaan                : .......................................
  • Alamat Peserta Didik : .......................................
  • RT: ... RW: ...  Kelurahan : .......................................
  • Kecamatan: .................

Identitas Orang tua


1. Ayah
  • Nama:
  • Pekerjaan:
2. Ibu
  • Nama:
  • Pekerjaan:


(TT) Calon Peserta Didik



.......................................


Lampiran mencakup catatan dan objeknya


Formulir dan informasi selengkapnya dapat ditanyakan langsung pada petugas yang ada di posko peduli pendidikan tersebut.

Mari kita sukeskan Tri Bina Cita Kota Malang, khususnya Malang sebagai kota pendidikan....
Share:

Sabtu, 29 September 2012

SINERGI PAUD


PERLU ADANYA SINERGI DAN KOLABORASI ANTARA NGO DENGAN DIREKTORAT PEMBINAAN PAUD 

Demikian yang dikatakan Direktur Pembinaan PAUD, Direktorat Jenderal PAUD, Kemdikbud, Dr.Erman Syamsuddin dalam Pembukaan Rakor Pengembangan Program PAUD dengan Non Government Organizations (NGO) di Semarang, 11 April 2012. Direktorat Pembinaan PAUD sebagai unit kerja yang mendapatkan wewenang dalam pembinaan PAUD dalam pembangunan PAUD ke depan. Dalam pembukaan ini juga dihadiri Kepala Bidang PNFI dan PT yang dalam hal ini mewakili Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Dr. Jasman Indrato.


Direktorat Pembinaan PAUD tidak bisa bekerja sendiri oleh karena itu lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Government Organization) yang bergerak di bidang pengembangan anak usia dini dilibatkan dalam layanan PAUD untuk memajukan PAUD secara kualitas dan kuantitas. Hal ini juga ditegaskan oleh Dr. Sukiman, Kasubdit Program dan Evaluasi, Direktorat Pembinaan PAUD, bahwa tujuan kegiatan ini menyelaraskan pelaksanaan program PAUD yang dilakukan oleh LSM/ NGO dengan renstra dan kebijakan pembangunan PAUD, perlu dilakukan pertemuan untuk, menyamakan persepsi dan memperkuat komitmen dalam pengembangan program PAUD ke depan. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan peran NGO dalam perluasan akses dan peningkatan mutu program PAUD serta adanya rencana tindak lanjut masing-masing NGO untuk perluasan akses dan peningkatan mutu program PAUD tahun 2012 – 2015.




Hasil dari kegiatan diharapkan bisa diadopsi daerah lain di Indonesia guna meningkatkan Angka  Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang saat ini masih 34,54. Dari jumlah 32 juta anak usia 0-6 tahun baru sekitar 10 juta anak yang baru terlayani. Rekomendasi kegiatan ini bisa diimplementasikan dalam koridor apa yang perlu dilakukan, pembagian Koridor layanan PAUD menurut wilayahnya, yaitu: Koridor I wilayah Sumatra, Koridor II wilayah Jawa, Koridor III wilayah Kalimantan, Koridor IV wilayah Sulawesi, Koridor V wilayah Bali, NTB dan NTT, Koridor VI wilayah Maluku, Malut, Papua dan Papua Barat.


Keberadaan 4 (empat) POS PAUD yang ada di Kelurahan Bandungrejosari sampai saat ini masih belum berjalan dengan baik, terutama dalam mengikuti jumlah anak usia balita yang semakin meningkat. Baik jumlah anak maupun kegiatannya. Terutama dalam menampung kegiatan, dalam artian ruang belajar, dan operasional guru pendidikan.

Berkaitan dengan keluhan TP PKK dalam mendayagunakan potensi wilayah, utamanya dalam mendukung keberadaaan pendidikan dari usia dini patutlah dilakukan upaya bekerja sama dengan lembaga pendidikan terkait, atau lembaga pendidikan lainnya serta pengusaha dan kewirausahaan setempat. Dan dalam mempercepat peran aktif lembaga pendidikan, pengusaha dan kelompok peduli, perlu juga dibangun sinergi program dan kegiatan dengan kelompok informasi masyarakat (KIM BIJAK) agar beberapa informasi yang belum dan tidak dapat di akses oleh masyarakat akan dijembatani oleh masyarakat secara mandiri. 

Disarikan : dari WEB DINAS PENDIDIKAN dan berbagai informasi ...

Share:

Pengunjung

Hallo Bandungrejosari

Hippam News

Kalimat BIJAK

Untuk sukses, Anda harus menemukan sesuatu sebagai pegangan, sesuatu untuk memotivasi Anda, sesuatu untuk menginspirasi Anda.

Kesuksesan bukanlah kunci kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kunci kesuksesan. Jika Anda mencintai apa yang Anda lakukan, Anda akan sukses.

Definition List

3R
3R singkatan dari reuse, reduce, dan recycle.
Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya.
Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah.
Recycle berarti mengolah kembali (mendaur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.

ADINDA
Adinda singkatan dari :
Akses informasi
Diskusi
Implementasi
Networkling
Diseminasi informasi
Aspirasi


Pengikut

Theme Support