MASA ORIENTASI SISWA SEKOLAH (MOSS) . . .
BUDAYA PENJAJAHAN UNTUK BANGSA TERJAJAH . . .
.
BUDAYA PARA PENJAJAH YANG TIDAK PERNAH DI
TERAPKAN
UNTUK ANAK-ANAK BANGSA MEREKA SENDIRI
BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK
DI INDONESIA
BUDAYA KEBODOHAN YANG MASIH TERUS
DILESTARIKAN HINGGA HARI INI
-Mulai sejak SD hingga Perguruan Tinggi
-Mulai dari guru dan dosen hingga para Senior ke Junior
-Mulai dari guru dan dosen hingga para Senior ke Junior
Diambil dari tulisan Prof. Rhenald Kasali (Guru
Besar FE UI), sebagai bahan perenungan pasca Orientasi Peserta Didik Baru 2014.
LIMA
belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat
anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris
yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang
artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika
dan baru mulai belajar bahasa.
…Karangan
yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya
mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk,
logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia
menyerah.
Rupanya
karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai
buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi,
saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu
saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak
dari mana?”
“Dari
Indonesia,” jawab saya.
Dia
pun tersenyum.
BUDAYA
MENGHUKUM
Pertemuan
itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang
mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya
mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik
itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya
dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.
Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk
merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan
argumentasinya.
“Saya
sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar
itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat
menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa
Inggris yang dibuat anak saya.
Dari
diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur
prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya
teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai
“A”, dari program master hingga doktor.
Sementara
di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman
drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya
pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan
mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun
suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji
yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu
mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan
menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian
penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan.
Pada
saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para
pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di
bangku ujian.
***
Etika
seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji
marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan
kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang
luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat
saya sangat tidak manusiawi.
Mereka
bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa
diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat
betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan
cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya
ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya
berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah
yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang
pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang
membangun, bukan merusak.
Kembali
ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur
kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,”
ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya
juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk
verbal.
Anak-anak
Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak
diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja
lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia
mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang
berarti.”
Malam
itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya
ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak
objektif.
Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi
saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang
berbeda.
MOSS Bersama di Lapangan Karebosi Makassar |
MELAHIRKAN
KEHEBATAN
Bisakah
kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa
takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan
seterusnya.
Kita
dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan
tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di
sekolah.
Sekolah
yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan
otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau
sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua
itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh,
sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar
dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi
juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan
dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang
menakut-nakuti.
0 komentar:
Posting Komentar