Siang panas .... namun sejuk .... terpikir acara komunitas Pertemuan Forum KIM Jawa Timur. Sambil berkomunikasi dengan rekan rekan satu alumni di SMP 2 Kota Malang yang habis reuni Santu 02/08 kemarin, sampai-sampai tak terasa waktu menjelang makan siang. Iseng buka kabar kabari di face book ketemualah satu cerita nyata ... yach terasa biasa membacanya. Namun dari pengalaman keliling kampung dan sambang kelurahana di Kota Malang, sebenarnya banyak cerita motivasi semacam ini.
Anak muda yang mengembangkan potensi, menularkan ide, bahkan berinovasi untuk mengupayakan satu langkah untuk negerinya, dengan memanfaatkan internet. Simak baik-baik dan hayati .....
SUASANA ruang tamu di rumah Arfi’an Fuadi, 28, di Jalan
Canden, Salatiga, Jawa Tengah, masih dipenuhi nuansa Idul Fitri. Jajanan
Lebaran seperti kacang, nastar, dan kue kering memenuhi meja untuk menjamu tamu
yang berkunjung.
Di sebelah ruang tamu terdapat ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya
ada tiga unit komputer. Rupanya, di ruangan kecil itulah Arfi –panggilan
Arfi’an Fuadi– bersama sang adik M. Arie Kurniawan dan dua karyawannya
mengeksekusi order design engineering dari berbagai negara.
Kiprah dua bersaudara itu di dunia rancang teknik internasional tak
perlu diragukan lagi. Tahun lalu Arie memenangi kompetisi tiga dimensi (3D)
design engineering untuk jet engine bracket (penggantung mesin jet pesawat)
yang diselenggarakan General Electric (GE) Amerika Serikat. Arie mengalahkan
sekitar 700 peserta dari 56 negara.
”Lomba ini membuat alat penggantung mesin jet seringan mungkin dengan
tetap mempertahankan kekuatan angkut mesin jet seberat 9.500 pon. Saya berhasil
mengurangi berat dari 2 kilogram lebih menjadi 327 gram saja. Berkurang 84
persen bobotnya,” ungkap Arie ketika ditemui di rumah kakaknya, Senin (4/8).
Yang membanggakan, Arie mengalahkan para pakar design engineering yang
tingkat pendidikannya jauh di atas dirinya.
Misalnya, juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang bekerja di
Swedish Air Force. Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford University yang
kini bekerja di Airbus. ”Padahal, saya hanya lulusan SMK Teknik Mekanik
Otomotif,” jelas Arie.
Sekilas memang tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang lulusan SMK yang
belum pernah mendapatkan materi pendidikan CAD (computer aided design) mampu
mengalahkan doktor dan mahasiswa S-3 yang bekerja di perusahaan pembuat
pesawat? CAD adalah program komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian
dari suatu produk.
Rupanya, ilmu utak-atik desain teknik itu diperoleh dan didalami Arie
dan kakaknya, Arfi, secara otodidak. Hampir setiap hari keduanya melakukan
berbagai percobaan menggunakan program di komputernya. Mereka juga belajar dari
referensi-referensi yang berserak di berbagai situs tentang design engineering.
”Terus terang dulu komputer saja kami tidak punya. Kami harus belajar
komputer di rumah saudara. Lama-lama kami jadi menguasai. Bahkan, para tetangga
yang mau beli komputer, sampai kami yang disuruh ke toko untuk memilihkan,”
kenang Arfi.
Sebelum menjadi profesional di bidang desain teknik, dua putra
keluarga A. Sya’roni itu ternyata harus banting tulang bekerja serabutan
membantu ekonomi keluarga. Arfi yang lulusan SMK Negeri 7 Semarang pada 2005
pernah bekerja sebagai tukang cetak foto, di bengkel sepeda motor, sampai jualan
susu keliling kampung.
Sang adik juga tak jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir dari
truk sampai tukang cuci motor. ”Kami menyadari, penghasilan orang tua kami
pas-pasan. Mau tidak mau kami harus bekerja apa saja asal halal,” tutur Arfi.
Baru pada 2009 Arfi bisa menyalurkan bakat dan minatnya di bidang
program komputer. Pada 9 Desember tahun itu dia memberanikan diri mendirikan
perusahaan di bidang design engineering. Namanya D-Tech Engineering Salatiga.
Saksi bisu pendirian perusahaan tersebut adalah komputer AMD 3000+. Komputer
itu dibeli dari uang urunan keluarga dan gaji Arfi saat masih bekerja di PT Pos
Indonesia.
”Gaji saya waktu itu sekitar Rp 700 ribu sebagai penjaga malam kantor
pos. Lalu ada sisa uang beasiswa adik dan dibantu bapak, jadilah saya bisa
membeli komputer ini,” kenangnya.
Setelah berdiskusi dengan sang adik, Arfi pun menetapkan bidang 3D
design engineering sebagai fokus garapan mereka. Sebab, dia yakin bidang itu
booming dalam beberapa tahun ke depan. ”Kami pun langsung belajar secara
otodidak aplikasi CAD, perhitungan material dengan FEA (finite element
analysis), dan lain-lain,” jelasnya.
Tak lama kemudian, D-Tech menerima order pertama. Setelah mencari di
situs freelance, mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat ukur dari
pengusaha Jerman. Si pengusaha bersedia membayar USD 10 per set. Sedangkan Arfi
hanya mampu mengerjakan desain tiga set jarum selama dua minggu.
”Kalau sekarang mungkin bisa sepuluh menit jadi. Dulu memang lama
karena kalau mau download atau kirim e-mail harus ke warnet dulu. Modem kami
dulu hanya punya kecepatan 2 kbps. Hanya bisa untuk lihat e-mail.”
Di luar dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si pemesan.
Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan harga awal.
”Kami sangat senang mendapat apresiasi seperti itu. Dan itulah yang memotivasi
kami untuk terus maju dan berkembang,” tegas Arfi.
Sejak itu order terus mengalir tak pernah sepi. Model desain yang
dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku yang
dipesan orang Selandia Baru sampai desain pesawat penyebar pupuk yang dipesan
perusahaan Amerika Serikat.
”Pernah ada yang minta desain mobil lama GT40 dengan handling yang
sama. Untuk proyek itu, si pemilik sampai harus membongkar komponen mobilnya
dan difoto satu-satu untuk kami teliti. Jadi, kami yang menentukan mesin yang
harus dibeli, sasisnya model bagaimana dan seterusnya. Hasilnya, kata si
pemesan, 95 persen mirip,” jelasnya.
Selama lima tahun ini, D-Tech telah mengerjakan sedikitnya 150 proyek
desain. Tentu saja hasil finansial yang diperoleh pun signifikan. Mereka bisa
membangun rumah orang tuanya serta membeli mobil. Tapi, di sisi lain, capaian
yang cukup mencolok itu sempat mengundang cibiran dan tanda tanya para
tetangga.
”Kami dicurigai memelihara tuyul. Soalnya, pekerjaannya tidak jelas,
hanya di rumah, tapi kok bisa menghasilkan uang banyak. Mereka tidak tahu
pekerjaan dan prestasi yang kami peroleh,” cerita Arfi seraya tertawa.
Sayangnya, dari 150 proyek itu, hanya satu yang dipesan klien dalam
negeri. ”Satu-satunya klien Indonesia adalah dari sebuah perusahaan cat. Mereka
beberapa kali memesan desain mesin pencampur cat,” lanjutnya.
Meski punya segudang pengalaman dan diakui berbagai perusahaan
internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa berkiprah di desain teknik
Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya berijazah SMK.
”Kalau ditanya apakah tidak ingin membantu perusahaan nasional, kami
tentu mau. Tapi, apakah mereka mau? Di Indonesia kan yang ditanya pertama kali
lulusan apa dan dari universitas mana,” ujarnya.
Stigma ”hanya berijazah SMK” ditambah sistem pendidikan Indonesia yang
dinilai kurang adil itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie melanjutkan
pendidikan ke jenjang S-1 di Teknik Elektro Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang. Arie tidak bisa masuk jurusan itu karena hanya lulusan SMK mekanik
otomotif.
”Saya ingin kuliah di jurusan itu karena ingin memperdalam ilmu
elektro. Kalau mesin saya bisa belajar sendiri. Tapi, saya ditolak karena kata
pihak Undip jurusannya tidak sesuai dengan ijazah saya. Padahal, lulusan SMA
yang sebenarnya juga tidak sesuai diterima. Ini kan tidak adil namanya,” cetus
Arie.
Meski ditolak, Arie tidak kecewa. Bersama sang kakak, dia tetap ingin
menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa. Dan itu telah dibuktikan
dengan menjuarai kompetisi design engineering di Amerika yang diikuti para ahli
dari berbagai negara. Selain itu, mereka tak segan-segan menularkan ilmunya
kepada anak-anak muda agar melek teknologi 3D design engineering.
”Ada beberapa anak SMK yang datang ke kami untuk belajar. Sekarang ada
yang sudah kerja di bidang itu. Ada juga yang bakal ikut kompetisi Asian Skills
Competition sebagai peserta termuda,” jelasnya.
Mereka juga punya keinginan mengembangkan teknologi energi terbarukan.
Salah satunya dengan mengembangkan desain pembangkit listrik tenaga angin.
”Kami bekerja sama dengan anak-anak SMK untuk mengembangkan biodiesel
dari minyak jelantah. Lalu, Mas Ricky Elson (pembuat mobil listrik yang dibawa
Dahlan Iskan dari Jepang, Red) pernah menghubungi lewat Facebook, ingin
menjalin kerja sama dengan kami. Tentu saja kami terima,” ungkapnya.
Dengan semua upaya itu, mereka punya satu impian, yakni mengembangkan
sumber daya lokal Salatiga untuk menjadikan kota kecil itu pusat pengembangan
manufaktur teknologi kelas dunia. Layaknya Silicon Valley di San Francisco,
Amerika Serikat.
”Kami ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat industri
manufaktur dunia. Terlebih lagi, teknologi 3D printing bakal menjadi tulang
punggung industri masa depan. Itulah kenapa 3D design engineering sangat
penting,” tandasnya.
Seperti ditulis oleh M. Salsabyl Ad’n, Salatiga
0 komentar:
Posting Komentar